Tak Hanya M Sroedji, Pahlawan Sakti Asal Ini Kebal Bacok dan Tembakan Senjata, Si Bura dari Kalisat Jember Sering Diincar Belanda |
Jember Terkini - Di Desa Jatian, Kecamatan Pakusari, Kabupaten Jember, Jawa Timur, hidup seorang pendekar sekaligus pahlawan kemerdekaan bernama Bura.
Terkenal dengan kesaktiannya, Bura dikisahkan kebal terhadap segala jenis senjata, termasuk bacokan dan senjata api.
Bura lahir pada tahun 1900-an di Desa Jatian, yang saat itu menjadi bagian dari Kecamatan Kalisat sebelum pemekaran wilayah.
Sejak muda, ia dikenal sebagai pendekar dengan ilmu kanuragan tinggi, yang digunakan untuk melawan penjajah Belanda.
Dalam setiap perjuangannya, ia selalu membawa celurit andalannya, yang telah menebas banyak leher penjajah.
Keberanian dan wibawa Bura membuatnya dipercaya menjadi pimpinan laskar rakyat di wilayah Kecamatan Jember Utara, meliputi Kecamatan Mayang, Kecamatan Kalisat, dan Kecamatan Ledokombo.
"Pak Bura sangat terkenal berani, kebal senjata, dan memiliki senjata celurit," kata Ustaz Fikri, seorang warga sekitar Monumen Bura di Desa Jatian, sebagaimana dikutip oleh Liputan6 pada Minggu (11/11/2018).
Bura sering kali menghadapi sekelompok musuh seorang diri, hanya dengan senjata celuritnya. Ia berjuang bersama Moch Sroedji, namun lebih fokus di wilayah Jember utara.
Ketika pasukan Brigade III/Divisi I Damarwulan yang dipimpin Moch Sroedji harus hijrah, Bura dan rekan-rekannya diperintahkan tetap tinggal di Jatian untuk menjaga pedalaman desa.
Cerita tentang keberanian dan kesaktian Bura dituturkan secara turun-temurun oleh sesepuh Desa Jatian, yang menjadi teman seperjuangannya.
Hingga kini, kisah kepahlawanannya masih dikenang dan menjadi legenda di Kecamatan Pakusari dan wilayah Jember utara.
Ketika Belanda mendengar tentang kesaktian dan keberanian Bura, mereka berusaha keras untuk menangkapnya.
Bura menjadi orang yang paling dicari oleh Belanda, terutama saat agresi militer kedua pada Juli 1947.
Namun, Bura tetap gigih melawan hingga akhirnya Belanda menggunakan cara licik dengan menyandera ibunya untuk mengungkapkan kelemahan Bura.
Pada 26 Maret 1948, Bura ditangkap pada usia 50 tahun. Ketua Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Polri dan TNI (FKPPI) Kecamatan Pakusari, Buang Mujiono, menceritakan bahwa Bura dibunuh secara sadis oleh Belanda setelah dikhianati oleh seorang pribumi yang menjadi mata-mata Belanda.
Untuk menghentikan perlawanan Bura yang kebal senjata, Belanda membakar Bura hidup-hidup di pinggir Sungai Jatian.
Sebelum meninggal, Bura berwasiat agar perjuangannya tidak dihargai dengan penghargaan pemerintah, melainkan biarlah Allah yang menilai.
Untuk mengenang jasanya, teman seperjuangan Bura, almarhum Pak Basri, mendirikan Monumen Bura di tempat Bura dibakar.
Monumen Bura terletak sekitar 13 kilometer dari pusat Kota Jember dan terdiri dari tiga bangunan.
Meski lokasinya terkesan berada di sudut desa, petunjuk arah bisa didapatkan dengan bertanya kepada warga sekitar yang sangat hafal dengan tempat bersejarah tersebut.
Suasana rindang dan gemericik air sungai di sekitar monumen menambah keindahan tempat itu.
Sayangnya, monumen tersebut kini sepi pengunjung, mungkin karena pandemi. Hatimah, warga sekitar sekaligus istri pembangun Monumen Bura, berharap pemerintah Kabupaten Jember peduli dan melakukan perbaikan pada monumen yang sudah usang tersebut.
Bura, sang pahlawan yang rela mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan Indonesia, akan selalu dikenang oleh rakyat Jember dan sekitarnya sebagai simbol keberanian dan pengorbanan.***